MEDIA Discussion – Jaminan Pensiun. Jakarta, 18 Mei 2015
Perkumpulan Dana Pensiun Lembaga Keuangan (PDPLK) mendukung penetapan iuran Jaminan Pensiun (JP) di kisaran 1,5%. Di samping tidak membebani dunia usaha, usulan iuran JP yang 1,5% dinilai cukup memadai untuk membiayai program JP yang berbasis manfaat pasti.
Apa dan bagaimana kita memahami Iuran Jaminan Pensiun (JP) Cukup 1,5%?
Usulan iuran program JP
Iuran 1.5%+ (1.5% sampai 2018 dan meningkat sebesar 0.3% setiap 3 tahun, garis merah, iuran sebesar 3% baru dicapai pada 2030 dan 4.8% pada 2050) sebagaimana yang diusulkan sudah cukup untuk membiayai program JP dan mengandung margin yang memadai. Margin ini dimaksudkan untuk memenuhi kesenjangan sampai tahun 2045 karena tidak tersedianya data historis yang dapat andalkan, namun cukup untuk memenuhi pembayaran manfaat pensiun sampai tahun 2065. Diharapkan setelah tahun 2045 sudah dapat diperoleh data dari pengalaman 30 tahun dan dapat diandalkan.
Pemantauan secara periodik tentu harus dilakukan, bahkan sejak sekarang. Pemerintah perlu membentuk tim aktuaris antar departemen yang kuat.
Iuran rendah meningkat bertahap: transparan dan jujur
Skema iuran 1.5%+ ini dengan peningkatan-peningkatan yang rendah dianggap sangat transparan dan jujur. Transparan, karena publik dapat memahami bahwa iuran JP memang bervariasi karena dipengaruhi oleh perubahan demografi. Jujur, karena publik kita beritahukan bahwa kalau memang tidak diperlukan iuran yang tinggi, kita tidak harus memaksa mereka membayar iuran secara berlebihan.
Lagi pula, program JP baru dimulai dan akan bergerak lamban karena adanya persyaratan masa kepesertaan 15 tahun serta tidak ada ketentuan peralihan (tanpa pengakuan masa kerja lalu, saat ini hanya pekerja formal saja, tidak termasuk penduduk usia lanjut).
Hasil simulasi yang ada
Grafik di bawah ini adalah rangkaian PAYG rates hasil simulasi dengan menggunakan model yang dibangun oleh aktuaris BPJS, dan perbandingannya dengan beberapa usulan besaran iuran (1.5%+, 8% flat, 3%+, 3% flat sampai 2030, 8%+):
Dari grafik di atas, jelas terlihat bahwa PAYG rates dalam 15 tahun pertama memang rendah (apa pun model atau perhitungan aktuaria dan asumsi yang digunakan akan menghasilkan lebih kurang sama dengan garis PAYG rates yang berwarna hijau itu). Yang membedakannya adalah cara para pihak menginterpretasikannya.
Juga jelas terlihat bahwa iuran 8% flat (garis kuning) itu sangat berlebihan, yang 3%+ (garis hitam) sudah berlebihan, juga yang 3% flat sampai 2030 (garis biru) pada 15 tahun pertama, apalagi yang 8%+ (garis coklat).
Beban program pensiun dan old-age dependency ratio
Beban jangka panjang suatu program pensiun dipengaruhi oleh rasio ketergantungan penduduk usia lanjut (old-age dependency ratio) atau perbandingan jumlah penerima manfaat pensiun berkala terhadap pekerja yang membayar iuran (system dependency ratio) dan usia pensiun yang ditetapkan.
Sebagai contoh, ada 1 orang penduduk usia lanjut dan 5 angkatan kerja produktif. Ini berarti old-age dependency ratio sama dengan 20%. Dengan kata lain, untuk membiayai 1 orang penduduk usia lanjut ini, maka setiap angkatan kerja produktif akan berbagi beban masing-masing sebesar 20%.
Apabila kita ingin memberikan 1 orang penduduk usia lanjut ini tingkat penghasilan pensiun (TPP) sebesar 40%, maka beban setiap angkatan kerja produktif adalah sebesar 8% (old-age dependency ratio, 20% x TPP, 40%). Angka 8% ini tidak sama dengan angka 8% yang diusulkan oleh beberapa kalangan dan yang beredar selama ini. Kebetulan saja angkanya sama.
Apabila old-age dependency ratio ini di kemudian hari meningkat (karena usia harapan hidup meningkat), maka untuk mempertahankan old-age dependency ratio pada kisaran rasio yang sama, usia pensiun perlu dinaikkan.
Saat Old-age dependency ratio (usia 60) pada 2023 = 20.3%, maka iuran untuk TPP 40% = 8.1%. Ketika old-age dependency ratio (usia 60) pada 2065 menjadi 48.7%, maka usia pensiun perlu dinaikkan menjadi 70 tahun agar diperoleh old-age dependency ratio (usia 70) sebesar 20.3% dengan iuran tetap sebesar 8.1%. Selengkapnya dapat dilihat dalam tabel di bawah ini:
Bagaimana dengan program jaminan pensiun (JP) SJSN?
Kita tentu sudah tahu bahwa pembayaran manfaat pensiun berkala baru terjadi pada tahun 2030. Artinya, antara 2015-2030, mayoritas pembayaran merupakan pengembalian iuran beserta hasil pengembangannya (lump sum) dan hanya sebagian kecil saja pembayaran manfaat pensiun berkala bagi ahli waris (meninggal dunia) dan cacat. Jadi, antara 2015-2030 kita tidak memerlukan iuran sebesar 8%.
Pada tahun 2030, apakah iurannya langsung sebesar 8%?
Pada tahun 2030 nanti, ketika manfaat pensiun berkala mulai dibayarkan, apakah TPP-nya langsung sebesar 40%? Tentu tidak! Mengapa? Karena, TPP pada tahun 2030 hanya sebesar 15% (1% x 15 tahun masa iuran). Selanjutnya pada tahun 2031=16%, 2032=17%, 2033=18%, 2034=19%, 2035=20%, dan seterusnya.
TPP sebesar 40% baru terjadi pada tahun 2055 atau 40 tahun dari sekarang.
Bagaimana dengan tahun 2055, apakah iurannya langsung sebesar 8%?
Belum tentu! Mengapa? Karena beban sebenarnya dari program JP sangat bervariasi dan bergantung pada perubahan demografi dan system dependency ratio serta usia pensiun yang ditetapkan. Oleh karena itu, pencapaian cakupan kepesertaan maksimal (penegakan aturan, kerelaan bergabung) menjadi sangat penting untuk diprioritaskan.
Metode pembiayaan PAYG
Pembiayaan dengan metode pay as you go (PAYG atau “sambil jalan”) diartikan bahwa kita hanya perlu menyediakan dana untuk membayar manfaat pensiun berkala yang jatuh tempo setahun, 2 tahun, atau mungkin paling banyak 5 tahun saja. Banyak negara menggunakan metode PAYG. Metode pembiayaan PAYG adalah salah satu metode aktuaria yang diakui International Standard of Actuarial Practice (ISAP) 2, yang diterbitkan oleh International Actuarial Association, 13 October 2013.
Ada opportunity cost dari sumber dana yang ada dalam pengalokasiannya di antara berbagai kebutuhan pokok (investasi baru, meningkatkan kapasitas produksi, menciptakan lapangan kerja, dll.). Katanya mau menciptakan lapangan kerja, meningkatkan kapasitas ekonomi, daya saing, efisiensi biaya, dll.
Jadi, untuk apa uang itu (iuran tinggi) dihambur-hamburkan ke BPJS yang sebenarnya memang tidak diperlukan.
Usia pensiun
Usulan usia pensiun (56 sampai 2018 dan meningkat 4 bulan setiap tahun atau 1 tahun setiap 3 tahun, akan mencapai 65 tahun pada kisaran tahun 2050) sejalan dengan usulan iuran rendah meningkat bertahap dimaksud. Usia pensiun di negara-negara yang perekonomiannya dianggap maju, status yang juga menjadi dambaan bangsa kita, saat ini sudah mencapai 65 dan bergerak ke 67 dan 68 tahun. Selanjutnya, perlu ditetapkan mekanisme peningkatan usia pensiun secara otomatis (automatic balancing mechanism) seiring dengan peningkatan usia harapan hidup (longevity).
Memihak pada kepentingan peserta
Iuran yang rendah di awal membantu dalam memfasilitasi pengenalan program JP kepada masyarakat (baca: pekerja formal). Iuran tinggi di awal berpotensi mengurangi sasaran cakupan kepesertaan yang jelas tidak memihak pada “kepentingan peserta”.
Iuran rendah dan meningkat bertahap dalam jumlah yang rendah pula tidak akan menimbulkan masalah mengenai generasi mendatang merasa lebih terbebani dibandingkan generasi sebelumnya. Peningkatan yang rendah akan dengan mudah diserap karena kemampuan ekonomi bertambah. Iuran 1.5% sekarang dan 1.8% tiga tahun lagi dan seterusnya, skala ekonominya tidak berbeda. Lagi pula, generasi mendatang mewarisi banyak hal yang dibangun dan disediakan oleh generasi sebelumnya, antara lain pembangunan infrastruktur, sekolah, rumah sakit, teknologi, dan sebagainya.
Program JHT selama ini tidak maksimal
Saat ini, ada lebih dari 70% pekerja formal tidak tercakup dalam program JHT, selain harus membayar iuran program JP, terdapat tambahan iuran program JHT sebesar 5.7%. Bagi mereka, beban ini merupakan suatu lonjakan yang sangat drastis, dari 0% menjadi 13.7% (kalau ditetapkan iuran 8%). Dengan iuran rendah di awal, beban bagi mereka hampir separuh lebih ringan dan justru mudah bagi mereka untuk menyerap sekaligus meningkatkan antusiasme untuk bergabung.
Usulan pentahapan kepesertaan
Usulan ini lagi-lagi tidak memihak pada “kepentingan peserta”. Bukankah dengan mendahulukan perusahaan skala besar dan mampu (yang umumnya memiliki pekerja berpenghasilan di atas rata-rata) justru mengurangi kesempatan bagi pekerja pada perusahaan skala kecil (yang mayoritas penghasilannya di bawah rata-rata) untuk menjadi peserta dan memperoleh manfaat pensiun berkala di kemudian hari?
Dengan usulan iuran yang rendah dan meningkat bertahap, yang memang harus demikian adanya, semua perusahaan tentu akan mampu membayar, jadi kita tidak membutuhkan pentahapan kepesertaan dengan mendahulukan perusahaan skala besar yang merupakan usulan yang terkesan “asal-asalan” saja.
Kita tahu kalau semua pekerja penerima upah wajib menjadi peserta program JP. Kalau ada pekerja yang tidak didahulukan, hak pekerja dimaksud tentu terabaikan. Selain itu, pentahapan kepesertaan akan menghambat laju cakupan kepesertaan yang memang sangat diperlukan bagi program JP.
Usulan mengecualikan peserta DPPK dan DPLK
Katanya hanya untuk pekerja baru yang bukan peserta DPPK dan DPLK. Ini juga usulan yang terkesan “asal-asalan”. Sepanjang UUK-13 masih berlaku, jelas bahwa manfaat dari DPPK dan DPLK dikompensasikan terhadap imbalan pesangon sesuai UUK-13, jadi impas (klop) saja. Kalau mereka dikecualikan dari keharusan mengikuti program JP, bukankah justru hak mereka untuk memperoleh manfaat pensiun dari program JP dihilangkan. Lagi-lagi tidak memihak pada “kepentingan peserta”.
Para pihak yang mengusulkan ini mengatakan usulan ini untuk membantu industri DPPK dan DPLK agar tetap exist dan berjalan beriringan, yang terkesan berbaik hati. Apanya yang tetap exist dan berjalan beriringan? Usulan ini tidak tuntas cara berpikirnya. Sekali lagi, sepanjang UUK-13 masih berlaku dan kita tahu kalau UUK-13 tidak wajib didanakan, tentu perusahaan akan mengutamakan ikut program JP yang wajib ketimbang harus mengeluarkan cash-flow ganda (mendanakan UUK-13 dan membayar iuran wajib program JP).
Sebaliknya, usulan ini justru dapat menghambat peluang kewajiban imbalan pesangon UUK-13 didanakan yang berarti jaminan terpenuhinya hak pekerja di kemudian hari menjadi rendah dan industri dana pensiun menjadi sulit berkembang. Sekali lagi, dengan usulan iuran yang rendah dan meningkat bertahap, yang memang harus demikian adanya, kita tidak butuh solusi seperti ini, karena kita yakin semua perusahaan yang sudah memiliki DPPK dan DPLK akan dengan senang hati mengikuti program JP.
Program JP adalah manfaat pasti bukan iuran pasti
Kalau programnya adalah manfaat pasti, maka berapa pun iuran yang ditetapkan (secara aktuaria dengan metode pembiayaan yang wajar dan optimal), tinggi atau rendah, jumlah manfaat pensiun yang akan diterima peserta tidak akan berubah.
Kita banyak mendengar ungkapan yang mengatakan kalau iurannya kecil, maka manfaat pensiunnya pun kecil. Oleh karenanya, sesuai tuntutan mereka, iuran program JP harus tinggi agar memperoleh manfaat pensiun yang tinggi pula.
Para pihak ini telah membolak-balikkan pemahaman antara iuran pasti dan manfaat pasti. Ini sangat menyesatkan dan perlu terus menerus diluruskan!
Iuran tinggi negara lain sebagai perbandingan
Kita juga banyak mendengar kutipan yang mengatakan, negara ini dan negara itu iurannya sudah sekian-sekian persen (tinggi). Banyak perbandingan yang dilakukan tidak akurat, karena sebagian negara yang diperbandingkan menganut sistem iuran pasti, seperti Singapura dan Malaysia. Negara lainnya, yang menganut sistem manfaat pasti, memang tinggi, karena keberadaan program pensiun mereka sudah berlangsung lama (mature).
Jadi, sangat tidak tepat bila kita membandingkan dan mulai dengan iuran yang sama (tinggi) dengan program yang sudah berlangsung lama (mature) dan yang sudah memberi nilai tambah (membayar manfaat pensiun berkala). Justru program yang sudah berlangsung lama (mature) ini menunjukkan bahwa iuran tidak mungkin tidak dapat dikendalikan.
Sekali lagi, beban sebenarnya dari program JP tidak berubah hanya karena iuran tinggi atau rendah, tetapi bergantung pada perubahan demografi, penetapan usia pensiun yang tepat (karena mempengaruhi seluruh kegiatan ekonomi, bukan hanya program JP saja), dan peningkatan usia harapan hidup (longevity).
Rancangan pembiayaan program JP justru harus self-sustainable (bertahan dengan sendirinya untuk waktu yang tidak terbatas), sehingga tidak perlu terlalu paraniod akan terjadi unfunded dan tidak perlu juga berpikiran bahwa negara juga harus ikut membayar iuran.
Program OASDI (old age savings and disability insurance) di Amerika, pada awal penyelenggaraannya dimulai dengan iuran 2% saja pada 1937-1949 dan kini 12.4% (2015). Begitu pula program CPP (canadian pension plan) di Kanada, yang dimulai dengan iuran 3.6% pada 1966 dan kini 9.9% (2015).
Nilai tambah rendah, risiko tinggi
Iuran yang tinggi akan menghasilkan dana kelolaan yang besar yang apabila diinvestasikan di pasar modal (market securities) mengandung berbagai risiko, antara lain inflasi, mismatch, kesalahan pengelolaan (mismanagement), kebocoran (leakage), dan semua risiko pasar keuangan – lagi-lagi tidak memihak pada “kepentingan peserta”.
Akumulasi dana yang besar dapat mengundang perhatian sebagian atau sekelompok orang yang mungkin akan mengumbar janji untuk menaikkan manfaat pensiun. Ini mungkin saja terjadi, karena selama 15 tahun dana menumpuk, tidak ada pengeluaran yang berarti, dan sama sekali tidak ada nilai tambah bagi peserta.
Corruption Perceptions Index
First launched in 1995, the Corruption Perceptions Index has been widely credited with putting the issue of corruption on the international policy agenda. It is published annually by the Berlin-based organization Transparency International.
Poorly equipped schools, counterfeit medicine and elections decided by money are just some of the consequences of public sector corruption. Bribes and backroom deals don’t just steal resources from the most vulnerable – they undermine justice and economic development, and destroy public trust in government and leaders. Corruption is a problem for all countries. A poor score is likely a sign of widespread bribery, lack of punishment for corruption and public institutions that don’t respond to citizens’ needs.
Based on expert opinion from around the world, the Corruption Perceptions Index measures the perceived levels of public sector corruption worldwide, and it paints an alarming picture. Not one single country gets a perfect score and more than two-thirds score below 50, on a scale from 0 (highly corrupt) to 100 (very clean).
Corruption Perceptions Index 2014 melaporkan bahwa dari 175 negara, Indonesia berada pada peringkat 107 dengan skor 34 (107; 34). Bandingkan dengan Singapura (7; 84), Hong Kong (17; 74), Taiwan (35; 61), Korea Selatan (43; 55), Malaysia (50; 52), India, Thailand, Sri Lanka, dan Filipina (85; 38), Tiongkok (100; 36). Indonesia hanya mengungguli Vietnam (109; 31), Nepal dan Pakistan (126; 29), Timor Leste (133; 28), Laos dan Papua Nugini (145; 25), Kamboja dan Myanmar (156; 21). Tertinggi adalah Denmark (1; 92) dan New Zealand (2; 91).
Yves Guérard dengan tepat mengatakan:
“It takes a strong governance structure to avoid mismanagement, misappropriation, leakage and to mitigate moral hazards”.
“Actuaries serve the public interest by adding value in terms of well-being for the society as a whole by reducing the adverse financial impact of risks and uncertainty while increasing fairness and security”. (Optimal financing of social security pension schemes, Limassol, Cyprus, 30-31 October 2008).