Ada yang bertanya kepada saya, apa sih akibatnya bila seorang tidak punya dana pensiun ? 

Maka jawab saya, ada 5 (lima) akibat yang signifikan bila seoarang pekerja tidak punya dana pensiun. Yaitu 1) si pekerja itu gagal memenuhi kebutuhan hidupnya di hari tua karena tidak adanya dana yang cukup, 2) si pekerja akan jadi beban atau tanggungan anak atau orang lain di masa pensiun, 3) si pekerja mengalami masalah keuangan di masa pensiun saat tidak bekerja lagi, 4) si pekerja tidak mampu membiayai kesehatan ketika sakit di hari tua, dan 5) si pekerja sudah pasti gagal mempertahankan gaya hidup seperti saat masih bekerja. 

 

Survei membuktikan bahwa 7 dari 10 pensiunan di Indonesia mengalami masalah keuangan di hari tua, 2 dari 10 pensiunan masih bekerja lagi, dan hanya 1 dari 10 pensiunan yang benar-benar sejahtera di masa pensiun. Itu berarti, sebagian besar pensiunan tidak punya dana yang cukup untuk hari tua. Maka suka tidak suka, dana pensiun sangat diperlukan untuk menjaga kesinambungan penghasilan atau ketersediaan dana untuk masa pensiun, saat tidak bekerja lagi. Oleh karena itu, mempersiapkan masa pensiun sejak dini patut dilakukan bagi setiap pekerja di Indonesia. 

 

Lalu, ada yang menyangkal tidak perlu dana pensiun karena sudah punya program Jaminan Hari Tua (JHT) dari BPJS Ketenagakerjaan? Betul karena JHT kan bersifat program pensiun bersifat wajib. Tapi JHT sejatinya hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup dasar di hari tua seperti pangan dan sandang. JHT tidak akan bisa memenuhi gaya hidup atau kebutuhan tersier, seperti kesehatan, rekreasi, perawatan kendaraan, apalagi renovasi rumah.

 

Tingkat penghasilan pensiun (TPP) atau replacement ratio menyebut seorang pekerja membutuhkan dana sebesar 70-80% dari gaji terakhir di masa pensiun. Sebagai contoh, bila gaji terakhir si pekerja Rp. 10 juta, maka dibutuhkan dana sebesar 7-8 juta per bulan di masa pensiun (saat tidak bekerja lagi). Nah, program JHT bila terpenuhi paling besar bisa meng-cover 20% saja dari kebutuhan hidup di hari tua. Maka kekurangannya, 50-60% tingkat penghasilan pensiun itulah yang diperoleh dari dana pensiun. Bila tidak dipenuhi, maka akan bermasalah secara keuangan. Begitu kira-kira penjelasannya. 

 

Nah, salah satu cara yang bisa ditempuh pekerja untuk lebih siap pensiun atau punya dana yang cukup di hari tua adalah dengan menjadi peserta DPLK (Dana Pensiun Lembaga Keuangan). Karena DPLK bertujuan untuk menjaga kesinambungan penghasilan setiap pekerja di masa pensiun sekaligus menjadi solusi keuangan agar dapat memenuhi standar gaya hidup seorang pekerja di hari tua. Semua pekerja yang berpenghasilan dan sadar akan pentingnya masa pensiun dapat menjadi peserta DPLK, baik 1) mendaftar sendiri sebagai peserta individu atau 2) diikutsertakan melalui perusahaan.

 

Harus dipahami, DPLK adalah sarana paling tepat untuk mempersiapkan masa pensiuan yang Sejahtera. Bukan asuransi pensiun atau asuransi pesangon. Karena di DPLK, seriap pekerja yang menjadi peserta akan memperoleh 3 (tiga) keuntungan, yaitu: 1) ada pendanaan yang pasti untuk masa pensiun, 2) ada hasil investasi yang signifikan selama menjadi peserta DPLK, dan 3) mendapat fasilitas perpajakan saat dana dicairkan ketika masa pensiun tiba. Bahkan bagi Perusahaan yang mengikutsertakan pekerjanya di DPLK, maka iuran dari Perusahaan dapat dikompensasikan sebagai bagian dari pembayaran imbalan pascakerja atau uang pesangon sesuai dengan PP 35/2023 tentang PKWT dan Pemutusan Hubungan Kerja. 

 

Sudah pasti, setiap pekerja ingin punya jaminan kesinambungan penghasilan di masa pensiun. Di samping ingin memiliki alokasi dana yang pasti untuk hari tua. Maka cara sederhana yang dilakukan adalah menjadi peserta DPLK. Agar tetap dapat memenuhi kebutuhan hidup di masa pensiun seperti masa bekerja. Kerja yes, pensiun oke. Salam #YukSiapkanPensiun #EdukasiDPLK #EdukatorDanaPensiun

Salah satu peta jalan pengembangan industri dana pensiun di Indonesia adalah dana pensiun mikro. Tentang bagaimana pekerja sektor informal, UMKM, dan masyarakat berpenghasilan rendah dapat memiliki program pensiun. Karena saat ini, tingkat penetrasi program pensiun sektor informal per 2022 masih 1% dari jumlah angkatan kerja. Sangat kecil dan patut diperhatikan. 

Apa iya, pekerja informal seperti supir taksi, driver ojol, tukang gorengan, ART, pegawai warteg bahkan karyawan outsourcing tidak punya hak untuk mempersiapkan masa pensiun atau hari tuanya? Maka sangat penting, regulator dan pelaku industri dana penting membuka "ruang" untuk meningkatkan kepesertaan dana pensiun di kalangan pekerja informal.  

Seperti yang sudah diberitakan di Investor Daily (23 Agt 2023, https://investor.id/finance/338657/penetrasi-program-pensiun-masih-rendah), maka penting diketahui dan ditindaklanjuti strategi pengembangan dana pensiun mikro atau sektor informal. Ada 5 (lima) prioritas yang akan diterapkan sebagai peta jalan pengembangan dana pensiun mikro, yaitu:

  1. Pemanfaatan dana sosial untuk membantu masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). 
  2. Batas usia pensiun pekerja informal akan dibedakan dengan penerapan batas usia pensiun pekerja formal. Nantinya, pekerja informal dibebaskan untuk menentukan usia pensiunnya dalam rentang usia tertentu, disesuaikan dengan tujuan keuangannya seperti untuk kebutuhan umroh dan naik haji, pendidikan anak, dan membuka usaha lainnya.
  3. Formalisasi sektor informal dengan cara memasukkannya dalam sistem perpajakan dan memberikan fasilitas pembebasan pajak bagi MBR. 
  4. Memberikan insentif peserta program pensiun, bisa terkait perpajakan atau insentif top-up iuran dengan kurun waktu kepesertaan tertentu dari dana sosial.
  5. Matching contribution, sebuah kebijakan untuk pengusaha UMKM yang menanggung iuran pekerjanya dengan besaran tertentu sesuai kemampuan.

Melalui kelima kebijakan tersebut, nantinya diharapkan terjadi peningkatan penetrasi program pensiun dalam lima tahun ke depan mencapai 17%. Sebagai ikhtiar untuk melindungi hari tua pekerja informal melalui program pensiun, sesuai amanat UU No. 4/2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (PPSK). Karena itu, salah satu aturan turunan yang dinantikan yaitu Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Harmonisasi Program Pensiun. Kita nantikan saja aturan konkretnya, di samping Peraturan OJK yang mampu meningkatkan kepesertaan dan aset kelolaan dana pensiun di Indonesia. 

Selain regulasi yang dapat memacu penetrasi dana pensiun mikro, maka hal yang tidak kalah penting adalah 1) edukasi yang berkelanjutan dari pelaku dana pensiun agar sektor informal memahami penting mempersiapkan kesinambungan finansial di hari tua dan 2) adanya kemudahan akses untuk memiliki dana pensiun khusunya melalui platform digital atau marketplace dana pensiun. Karena hari, memang sudah saatnya industri dana pensiun mempermudah akses kepesertaan dana pensiun. Jangan lagi manual, harus datang ke kantor pemasaran atau dilayani tenaga pemasar. 

Melalui peta jalan pengembangan dana pensiun mikro, pada akhirnya pekerja di Indonesia baik sektor formal maupun informal dapat memenuhi "tingkat penghasilan pensiun" sebesar 40% dari penghasilan bulanan, sesuai standar konvensi International Labor Organization (ILO).

Bekerja memang penting, namun mempersiapkan masa pensiun juga perlu. Agar kerja yes, pensiun oke. Yuk Siapkan Pensiun. #EdukasiDPLK #DanaPensiun #EdukatorDanaPensiun

Harus diakui, saat ini program DPLK (Dana Pensiun Lembaga Keuangan) untuk sektor informal atau DPLK mikro di Indonesia sama sekali belum ideal. Belum ada “ruang” yang memadai untuk mempersilakan kelompok pekerja sektor informal, UMKM atau individual memiliki program DPLK. DPLK mikro masih “jauh panggang dari api”. Karena faktanya saat ini, 80% dari 3,6 juta peserta DPLK yang ada menjadi peserta DPLK akibat diikusertakan perusahaan atau pemberi kerja. Sedangkan yang atas inisiatif personal atau individu hanya 20%.  

 

Berapa seharusnya angka ideal kepesertaan DPLK individu memang tidak ada yang tahu? Karena semuanya berlangsung secara alami. Tapi apabila dikaitkan dengan rencana “Roadmap Dana Pensiun di Indonesia” yang akan fokus mengembangkan dana pensiun untuk sektor informal, UMKM, dan masyarakat berpenghasilan rendah tentu menjadi soal yang serius. Karena dana pensiun mikro (DPLK retail) hanya bisa tumbuh signifikan bila didukung “ruang kemudahan”, baik dalam akses maupun tujuan keuangannya. 

 

Pertanyaaannya, apakah DPLK mikro atau retail memiliki potensi di Indonesia?

Menurut saya iya. Karena saat ini dari 136 juta pekerja di Indonesia (BPS, 2022), ada 60%-nya di sektor informal atau mencapai 81,6 juta pekerja, sisanya 40% ada di sektor formal. Sebagai ilustrasi “pengandaian” saja, bila 25% saja dari pekerja sektor informal yang ada (UMKM, pedagang, milenial, dan sebagainya) bisa punya akses ke DPLK, berarti ada sekitar 20,4 juta pekerja yang ter-cover. 

    

Selanjutnya, bila dari 20,4 juta pekerja informal tersebut menjadi peserta DPLK dengan iuran Rp. 50.000 per bulan, maka ada akumulasi dana sebesar Rp. 1,020 trilyun per bulan atau terkumpul dana sebesar Rp. 12,24 trilyun per tahun. Artinya, bila pekerja formal tersebut “stay” di DPLK selama 10 tahun, maka akumulasi dananya mencapai Rp. 146,8 trilyun (belum termasuk hasil pengembangannya). Bila 20 tahun menjadi peserta DPLK, maka akumulasi dananya mencapai Rp. 293,7 trilyun. Angka yang cukup fantastis dan melampaui capaian aset kelolaan industri DPLK selama 30 tahun (1992-2022) sebesar Rp. 122 trilyun. 

 

Setelah berdiskusi dengan beberapa rekan pengelola DPLK dan mengkalkulasi kepesertaan individu, saat ini di industri DPLK kira-kira ada sekitar 736.000 peserta individu (sekitar 20% dari total peserta yang 3,6 juta). Ternyata, dari angka tersebut, sekitar 70% pesert berada di sektor informal dan sisanya 30% peserta di sektor formal. Realitas ini harusnya bisa “membantah” tentang DPLK individu atau retail yang dianggap tidak prosfektif. Artinya, ada kok minat atau kemauan individu di sektor informal untuk memiliki program DPLK. 

 

Hanya saja memang harus dimaklumi, beberapa karakter DPLK individu yang ada saat ini biasanya 1) iuran yang disetorkan untuk DPLK tergolong kecil, paling besar Rp. 100.000,-, 2) iuran yang disetor pun besarannya berpotensi tidak tetap setiap bulannya atau tidak bisa reguler tiap bulan alias “iuran suka-suka” tergantung penghasilan yang diperoleh setiap bulannya, 3) usia pensiun yang ditetapkan biasanya sesuai dengan tujuan keuangannya, seperti untuk anak kuliah, untuk umroh atau naik haji, atau untuk renovasi rumah, dan 4) motif ikut DPLK karena tidak punya program pensiun untuk hari tua dan simpanan bila ada kebutuhan dana yang sifatnya mendesak. Suka tidak suka, karakter DPLK individu seperti di atas masih sangat kental, sehingga regulasi harus lebig fleksibel untuk mengakomodir peserta DPLK indoividu. Toh, individu tersebut menjadi peserta atas kesadaran personal akan pentingnya memiliki program DPLK. 

 

Bila DPLK sektor informal, UMKM atau DPLK mikro ingin dikembangkan di Indonesia, maka patut “dipikirkan” skema DPLK sektor informal yang memberi “ruang” peningkatan kepesertaaan DPLK individual, di samping dapat meningkatkan aset kelolaan industri DPLK yang lebih signifikan ke depan. Bukan hanya “nice to have” DPLK individu saja. Sektor informal sangat jelas berbeda dengan sektor formal. Siapapun yang berada di sektor informal atau UMKM, pasti 1) tingkat penghasilannya bersifat tidak tetap, 2) skala usahanya kecil atau musiman, 3) jenis pekerjaannya informal atau berusaha sendiri, 4) tidak punya mekanisme administrasi yang kompleks, dan 5) masih banyak yang tidak punya izin dan tidak punya NPWP. Maka, perlakuan terhadap DPLK sektor informal berbeda dengan sektor formal. Harus ada penyesuaian konsep DPLK di sektor informal. 

 

Terus terang, saya sih masih pecara. Bahwa masa depan dana pensiun di Indonesia, ada di DPLK (Dana Pensiun Lembaga Keuangan). Dan masa depan DPLK, pada akhirnya ada di “kepesertaan individu”. Yaitu orang per orang yang dengan sengaja dan mau mempersiapkan masa pensiunnya sendiri, termasuk pekerja di sektor informal, UMKM, dan masyarakat berpenghasilan rendah. Maka selain “good will” atau iktikad baik, DPLK individu atau sektor informal akan efektif dikembangkan bila semua pemangku kepentingan mau melakukan 1) edukasi yang masif dan berkelanjutan dan 2) memberi kemudahan akses DPLK melalui digitalisasi pensiun.  Dan saat ini, sudah ada kok yang menjalankan skema DPLK individual. 

 

Semoga saja suatu saat nanti di Indonesia. Pedagang gorengan, tukang las, pedagang jamu, driver ojol, atau pegawai warteg ramai-ramai antusias dan semangat punya DPLK. Sebagai bagian perencanaan hari tua dan masa pensiun mereka sendiri. Sehingga di jalan-jalan, ada obrolan di antara mereka, “saldo DPLK elo udah berapa sekarang?”. Bukan memberi tahu, “sudah belanja apa hari ini?”. 

 

DPLK individu, sektor informal, atau UMKM pasti bisa, bila mau. Karena kalau bukan kita, mau siapa lagi yang menyediakan akses untuk sektor informal dan individu punya DPLK? Salam #YukSiapkanPensiun #EdukasiDPLK #DanaPensiunMikro

Sebagai bagian edukasi publik dan dalam rangka mengkampanyekan Bulan Inklusi Keuangan (BIK) tahun 2023 bidang dana pensiun, Asosiasi DPLK menggelar webinar edukasi DPLK (Dana Pensiun Lembaga Keuangan) bertajuk “Ngomongin Uusia Pensiun Norma dan Manfaat Lain Serta Potensi DPLK Individu di Indonesia” secara daring pada Selasa, 22 Agustus 2023. 

 

Webinar yang terbuka untuk umum dan dihadiri 72 peserta ini sebagai media edukasi dan diskusi terkait industri DPK di Indonesia.  Bertindak sebagai narasumber Syarifudin Yunus, Direktur Eksekutif Asosiasi DPLK dan Edukator Dana Pensiun yang menegaskan tentang usia pensiun normal sesuai UU No. 4/2023 tentang PPSK pasal 146 ditetapkan paling rendah 55 (lima puluh lima) tahun yang berlaku tanggal 12 Januari 2023. Maka berartii, peserta DPLK sebelum UU PPSK (peserta lama) tetap mengacu pada ketentuan usia pensiun normal yang telah ditetapkan di dalam PDP masing-masing DPLK, tidak perlu melakukan penyesuaian seperti Pasal 146 UU PPSK. Sekalipun PDP belum diubah, maka usia pensiun normal bagi peserta DPLK yang terdaftar setelah UU PPSK berlaku (peserta baru) mengacu pada paling rendah usia 55 tahun, dengan manfaat pensiun dipercepat (Sesuai Pasal 158 ayat 2) UU PPSK ditegaskan ”Peserta yang berhenti bekerja paling cepat 5 (lima) tahun sebelum usia pensiun normal berhak atas manfaat pensiun dipercepat”. 

 

Selain itu, Dana Pensiun dapat memberikan “manfaat lain” sebagai tambahan dari Program Pensiun sesuai Pasal 138 UU PPSK. Namun begitu, DPLK tidak dapat memberikan manfaat lain tanpa menyelenggarakan program pensiun, dengan ketentuan: 1) aset dan kewajiban program pensiun wajib dicatat secara terpisah dengan aset dan kewajiban manfaat lain, 2) porsi iuran program pensiun wajib lebih besar dibanding iuran untuk manfaat lain, serta 3) penyelenggaraan manfaat lain menggunakan sistem pendanaan agar cukup untuk memenuhi kebutuhan pembayaran manfaat lain yang dimaksud. Patut diketahui, manfaat lain dana pensiun sesuia POJK 60/2020 tentang Iuran, Manfaat Pensiun, dan Manfaat Lain yang Diselenggarakan Dana Pensiun mencakup dana kompensasi pascakerja, dana pendidikan anak, dana perumahan, dana ibadah keagamaan, santunan kesehatan, santunan kematian, dan dana manfaat tambahan. Dengan demikian, penerapan manfaat lain di dana pensiun perlu mengedepankan prinsip keterpisahan administrasi dan pencatatan manfaat lain, tidak disatukan program pensiun wajib. Di samping, harus ada kepastian peserta manfaat lain sudah “mempunyai” program pensiun wajib sehingga  manfaat lain di dana pensiun tidak bisa “stand alone”.

 

Pembahasan lain dalam webinar ini adalah soal potensi DPLK individu di Indonesia yang relative belum tergarap. Apalagi pada Roadmap dana pensiun di Indonesia nantinya akan difokuskan pada pengembangan dana pensiun untuk sektor informal, UMKM, dan masyarakat berpenghasilan rendah. Sebuat saja, dana pensiun mikro (DPLK retail) sebagai upaya meningkatkan penetrasi pasar dana pensiun di Indonesia. Karena faktanya, tingkat inklusi dana pensiun saat ini masih sangat rendah, hanya 5,4%, sedangkan tingkat literasi dana pensiun baru 30,5% (sesuai Survei OJK, 2022).

 

Harus diakui, kondisi “real” DPLK saat ini memang belum ideal. Karena sektor informal belum mendapat “ruang” untuk memiliki DPLK. Selama ini pintu masuk DPLK, masih didominasi secara korporasi, bukan atas kesadaran individual. Oleh karena itu, kepesertaan DPLK secara individual perlu mendapat atensi dari pelaku DPLK. Kuncinya tterletak pada 1) edukasi dan 2) kemudahan akses memiliki program DPLK. 

 

Bila sepakat, bahwa “masa depan” dana pensiun di Indonesia, ada di DPLK (Dana Pensiun Lembaga Keuangan). Dan masa depan DPLK itu pada akhirnya terletak di “kepesertaan individu”. Yaitu orang per orang yang dengan sengaja dan mau mempersiapkan masa pensiunnya sendiri. Maka DPLK individual di Indonesia menjadi “pekerjaan rumah” terbesar yang harus digarap serisu. Tentu, untuk mendongkrak kepesertaan DPLK secara individual sekaligus memperbesar aset kelolaan DPLK. Salam #YukSiapkanPensiun #AsosiasiDPLK #EdukasiDPLK

Tiba-tiba, ada pertanyaan terkait dengan asuransi pensiun (lebih dikenal dengan group saving) dengan DPLK (Dana Pensiun Lembaga Keuangan). Apakah sama antara asuransi pensiun dengan dana pensiun? Jawabnya sangat jelas, tidak sama. Secara substansi, tujuan program asuransi pensiun adalah untuk proteksi yang pemberian manfaatnya dikaitkan dengan masa pertanggungan berakhir atau pada saat si tertanggung meninggal dunia di masa pertanggungan. Sedangkan DPLK adalah Dana Pensiun yang dibentuk oleh Lembaga Jasa Keuangan (LJK) tertentu, selaku pendiri, yang ditujukan bagi karyawan yang diikutsertakan oleh pemberi kerjanya dan/atau perorangan secara mandiri. Maka siapapun yang menjadi peserta DPLK berhak mendapat Manfaat Pensiun, yang diterima oleh peserta baik secara berkala dan/atau sekaligus sebagai penghasilan hari tua yang dikaitkan dengan usia pensiun, masa kerja, dan/atau masa mengiur (sesuai UU No. 4/2023 tentang PPSK).

Mungkin sangat penting sebagai edukasi. Bahwa asuransi pensiun (bahkan pesangon) yang dikenal group saving sama sekali berbeda dengan dana pensiun, khususnya Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK). Siapapun atau publik harus tahu, apa tujuan program keuangaannya yang ingin dicapai. Bila untuk proteksi ya gunakan asuransi. Tapi bila untuk pembayaran manfaat pensiun maka harus di dana pensiun. 

Selain tujuan program yang berbeda antara asuransi pensiun (group saving) dengan DPLK, beberapa perbedaaan mendasar yang patut diketahuia antara lain:

  1. Dari manfaat: Asuransi pensiun (group ssaving) manfaat-nya dibayarkan bila terjadi risiko dan tidak terkait dengan usia atau masa kerja maka manfaatnya disebut “uang pertanggungan”. Sedangkan DPLK manfaat-nya dibayarkan saat masa pensiun tiba yang dikaitakn dengan usia, masa kerja, dan masa mengiur sehingga manfaatnya disebut “manfaat pensiun”.
  2. Dari istilah pembayaran: Asuransi pensiun (group saving) disebut “jatuh tempo” sehingga dibayarkanlah nilai tunai polis atau uang pertanggungan, sedangkan DPLK hanya dibayarkan saat “usia pensiun” yang ditetapkan tiba, maka dibayarkan seluruh akumulasi dana (iuran yang disetor + hasil pengembangan selama jadi peserta).
  3. Dari dokumen: Asuransi pensiun (group pensiun) dokumen perjanjiannya berbentuk “polis”, sedangkan DPLK berbentuk “kontrak” atau “perjanjian kerjasama”.
  4. Dari istilah dana yang yang disetor: Asuransi pensiun (group saving) setoran dana dalam program disebut “premi”, sedangkan DPLK disebut “iuran”.
  5. Dari investasi atau pengembangan dana: Asuransi pensiun (group saving) arahan investasi tidak dipilih peserta dan tidak ada investment specialist, sedangkan DPLK arahan investasi dipilih oleh peserta dan ditempatkan oleh investment specialist.
  6. Dari saldo dana: Asuransi pensiun (group saving) saldo dana yang terkumpul pastinya dikurangi biaya provisi atau komisi, sedangan DPLK saldo dana peserta pasti “utuh ditambah hasil pengembangan dana”. 
  7. Dari regulasi: Asuransi pensiun (group saving) regulasi yang mengatur berdasar UU 14/2014 Perasuransian dan UU No. 4/2023 PPSK bidang Asuransi, sedangkan DPLK diatur dalam UU No. 4/2023 tentang PPSK bidang Dana Pensiun beserta POJK yang terkait dengan dana pensiun. 

Memang benar, asuransi pensiun (group saving) dan DPLK sejatinya diterbitkan untuk membantu siapapun untuk mempersiapkan perencanaan dan alokasi finansial yang tepat dalam kurun waktu tertentu. Tapi secara mendasar, perbedaannya terletak pada untuk proteksi di asuransi pensiun (group saving) dan untuk manfaat pensiun di DPLK. Biasanya asuransi pensiun (group saving) dijalankan dengan prinsip “endowment” (asuransi + tabungan) atau PAYDI (Produk Asuransi yang Dikaitkan Investasi). Berbeda dengan DPLK yang memegang prinsip “pendanaan” hingga manfaat pensiun dibayarkan. 

Sesuai UU No. 4/2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (PPSK) bidang dana pensiun ditegaskan program pensiun adalah setiap program yang mengupayakan Manfaat Pensiun bagi peserta, saat mencapai usia pensiun. Bahkan lebih dari itu, ditegaskan pula “Penyelenggaraan Program Pensiun dan manfaat lain oleh Dana Pensiun dapat diberikan perlakuan/ insentif perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan” (Pasal 171 UU. No. 4/2023).

Faktanya, banyak orang dan pihak yang tidak memahami DPLK (Dana Pensiun Lembaga Keuangan)  sebagai “kendaraan” yang paling tepat untuk menyiapkan pembayaran manfaat pensiun atau kompensasi pascakerja bagi pekerja atau karyawan. Oleh karena itu, edukasi yang masif dan berkelanjutan akan pentingnya DPLK di kalangan pekerja dan pemberi kerja menjadi sebuah keniscayaan. Bagaimana mungkin pekerja atu pemberi kerja bisa menjadikan DPLK sebagai pilihann manakala belum tahu apa manfaat DPLK itu sendiri. Maka kata kuncinya, edukasi edukasi dan edukasi.

Maka simpulannya, apapun produk keuangan yang dipilih tentu harus disesuaikan dengan tujuan keuangan, untuk apa dibayarkan? Bila terjadi risiko maka dibutuhkan proteksi. Bila saat usia pensiun tiba maka dibutuhkan dana pensiun atau DPLK. Jadi, tentukan tujuan keuangannya apa? Untuk proteksi atau untuk manfaat pensiun atau kompensasi pascakerja? Salam #YukSiapkanPensiun #EdukasiDPLK #EdukatorDanaPensiun

Menarik untuk dicermati dalam rencana roadmap dana pensiun di Indonesia. Yaitu tentang pengembangan dana pensiun untuk sektor informal, UMKM, dan masyarakat berpenghasilan rendah. Sebutlah namanya “dana pensiun mikro”. Tujuan tidak lain untuk meningkatkan penetrasi pasar dana pensiun di Indonesia. Di samping menjadi bagian “grand design” menciptakan ekosistem industri keuangan nonbank (IKNB). Khusus di dana pensiun, tentu pengembangan dana pensiun ke sektor informal dan UMKM memberi tantangan tersendiri. Di samping tingkat inklusi dana pensiun yang masih sangat rendah, hanya 5,4% saja sekalipun tingkat literasinya mencapai 30,5% (Survei OJK, 2022). 

Mungkin sebagian kita sepakat. Bahwa “masa depan” dana pensiun di Indonesia seharusnya ada di DPLK (Dana Pensiun Lembaga Keuangan). Dan “masa depan” DPLK itu pun pada akhirnya bermuara di “kepesertaan individu”. Orang per orang yang dengan sengaja dan mau mempersiapkan masa pensiunnya sendiri. Agar tersedia dan ayang cukup untuk biaya hidup di hari tua. Bila cara pandang individual di DPLK itu bisa diterima, maka pekerja di sektor informal, UMKM, dan masyarakat berpenghasilan rendah ada di dalamnya. Artinya, pekerja sektor informal, UMKM, dan Masyarakat berpenghasilan rendah sangat berha untuk ikut menyiapkan masa pensiunnya menjadi lebih baik. Sayangnya, realitas itu belum ideal. Karena saat ini, masih banyak pekerja menjadi peserta DPLK karena diikutsertakan oleh pemberi kerjanya. Menjadi peserta DPLK secara korporasi, bukan kesadaran individual. Oleh karenaya, jadi “pekerjaan rumah” besar untuk mendongkrak kepesertaan DPLK secara individual ke depan. Apalagi DPLK mau penetrasi ke sektor informal, UMKM, dan masyarakat berpenghasilan rendah. 

Sulit dibantah di era begini, sektor informal dan UMKM telah menjadi “kekuatan” ekonomi baru. Saat ini ada sekitar 81 juta pekerja di sektor informal, sedangkan di sektor formal ada 57 juta pekerja. Sayangnya, mereka belum mendapat perhatian dalam hal dana pensiun.  Karenanya, agak penting memahami karakteristik peserta individual di DPLK, termasuk para pekerja formal, UMKM, dan masyarakat berpenghasilan rendah. Dalam berbagai literatur, sektor informal dan UMKM memiliki ciri yang khas dari segi finansial, seperti 1) tingkat penghasilannya bersifat tidak tetap, 2) jenis pekerjaannya informal atau berusaha sendiri, 3) relatif tidak punya sistem kerja yang baku, 4) aktivitas kerjanya sederhana, 5) skala usahanya kecil, dan 6) biasanya tidak punya mekanisme administrasi yang kompleks. Bahkan tidak punya izin, tidak punya NPWP, atau tidak punya struktur organisasi. Artinya, sektor informal dan UMKM sama sekali berbeda berbeda dengan pekerja formal atau sektor formal.

Setelah berdiskusi dengan beberapa rekan pengelola DPLK yang memiliki kepesertaaan individual. Bahkan pernah turun ke lapangan melihat langsung pedagang gorengan, tukang las, pedagang jamu, drivel ojol, pegawai warteg, atau pengepul yang menjadi peserta DPLK. Maka patut disuarakan karakteristik peserta DPLK individual, mungkin nantinya akan sama dengan sektor informal dan UMKM, yaitu:

  1. Peserta individual DPLK yang ada, sekitar 70% berada di sektor informal dan sisanya 30% di sektor formal. 
  2. Iuran yang disetorkan untuk DPLK tergolong kecil, paling besar Rp. 100.000,-
  3. Iuran yang disetor pun besarannya berpotensi tidak tetap setiap bulannya atau tidak bisa reguler tiap bulan alias “iuran suka-suka”, tergantung seberapa penghasilan yang diperoleh setiap hari atau tiap bulannya.
  4. Usia pensiun yang ditetapkan biasanya sesuai dengan tujuan keuangannya, seperti untuk anak kuliah, untuk umroh atau naik haji, atau untuk renovasi rumah. 
  5. Mind set ikut DPLK karena tidak punya program pensiun untuk hari tua dan simpanan bila ada kebutuhan dana yang sifatnya mendesak. 

Satu hal yang patut dihargai dari peserta DPLK individu adalah punya kesadaran untuk menjadi peserta DPLK sekalipun memiliki karakteristik yang juga “informal’. Karena memang, tidak banyak masyarakat Indonesia yang mau menyiapkan hari tua melalui DPLK. Bisa jadi, mereka lebih senang ke bank atau reksadana, sekalipun skema programnya berbeda dengan DPLK.

Nah sayangnya, UU No. 4/2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan telah mengatur diantaranya: Usia Pensiun Normanl (UPN) untuk pertama kali ditetapkan paling rendah 55 tahun. (Pasal 146 ayat 1) dan Usia Pensiun Dipercepat menjadi 50 tahun atau 5 tahun sebelum UPN (Pasal 158 ayat 2). Aturan ini, bisa jadi “kontradiksi” dengan karakteristik peserta DPLK individual sebagaiaman dijabarkan di atas. Maka konsekuensinya, ikhtiar untuk pengembangan dana pensiun sektor informal, UMKM, dan masyarakat berpenghasilan rendah pasti terkendala. Harus ada solusi atau insentif untuk meningkatkan penetrasi dana pensiun mikro di Indonesia ke depannnya. 

Maka sebagai masukan konkret untuk pengembangan dana pensiun (DPLK) sektor informal, UMKM, dan masyarakat berpenghasilan rendah sangat diperlukan insentif kepesertaan DPLK terkait 1) usia pensiun normal berhak ditentukan secara “individual” oleh si peserta sesuai tujungan keuanganya (misal untuk uang kuliah anak, untuk umroh, untuk renovasi rumah, atau untuk biaya darurat) dan 2) usia pensiun dipercepat “tetap” 5 tahun sebelum usia pensiun normal yang ditetapkan si peserta saat mendaftar. Dengan begitu, ada potensi besar kepesertaan DPLK secara individu akan tumbuh pesat sehingga mampu mendongkrak penetrasi dana pensiun di Indonesia. Di samping ekosistem IKNB yang inklusif untuk seluruh Masyarakat Indonesia sangat mungkin meningkat. Dan lagi-lagi yang tidak kalah penting adalah harus didukung oleh 1) edukasi pentingnya DPLK yang masif dan berkelanjutan dan 2) kemudahan akses menjadi peserta DPLK, misalnya melalui online atau digital.

Begitulah sedikit pemikiran tentang pentingnya “memperlakukan” peserta DPLK secara individual ke depan. Harus ada kelonggaran soal usia pensiun. Karena toh selama ini, peserta DPLK individual tidak pernah mempersoalkan “insentif pajak”. Mereka tetap menjadi peserta DPLK yang loyal sekalipun tidak mendapat insentif perpajakan saat membayar iuran DPLK. Istilahnya kata mereka, “Alhamdulillah, saya sudah punya DPLK untuk hari tua nanti”.

Bukan tidak mungkin ke depan, pekerja sektor informal, UMKM, dan masyarakat berpenghasilan rendah akhirnya punya dana pensiun untuk hari tuanya, untuk masa pensiunnya. Sebuah inklusi dana pensiun yang masih (maaf) jadi “mimpi” untuk saat ini. Selamat datang di kepesertaan DPLK individual. Kerja yes, pensiun oke. Salam #YukSiapkanPensiun #DPLKRetail #EdukasiDPLK #EdukatorDanaPensiun

Ada hal baru di UU No. 4/2023 tentang Pengembangan dan penguatasn Sektor keuanga di bidang dana pensiun. Yaitu pada Pasal 169 ayat (3) ditegaskan “Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK) dilarang mengalihkan pengelolaan aset kepada pihak ketiga”. Pihak ketiga bisa dapat diartikan manajer investasi atau perusahaan aset manajemen yang selama ini “dititipkan” untuk penempatan investasi dari dana pensiun. Itu berarti, ke depan, DPLK harus mengelola aset dana pensiun milik peserta secara sendiri, tidak lagi diserahkan ke pihak ketiga. 

Terkait larangan itu, ketentuan peralihan Pasal 320 ayat (5) UU PPSK disebutkan larangan DPLK mengalihkan pengelolaan aset ke pihak ketiga efektif diterapkan paling lambat 5 (lima) tahun sejak UU PPSK diundangkan. Artinya, bila saat ini DPLK, pengelolaan asetnya berada di pihak ketiga atau di manajer investasi maka diberikan waktu untuk menyesuaikan/menarik pengalihan aset dari pihak ketiga/manajer investasi selama 5 (lima) tahun, yaitu paling lambat 12 Januari 2027. Syukur-syukur bisa dilakukan sebelum tenggat waktu 5 tahun sudah bisa dilakukan. 

Sebenranya, ketentuan ini bersifat penegasan kembali dari ketentuan yang sudah diatur dalam UU 11/1992 maka pengalihan pengelolaan kepada manajer investasi yang baru selama periode 5 (lima) tahun sejak UU PPSK diundangkan tidak diperkenankan. Bahkan bila dalam masa peralihan, DPLK yang perjanjian kerja samanya berakhir, maka perpanjangan atas perjanjian kerjasama dengan manajer investasi tidak diperkenankan karena hal ini dinilai sebagai pengalihan baru dari DPLK kepada manajer investasi.

Ketentuan ini sepatutnya direspon secara positif. Karena spiritnya adalah 1) untuk mengembalikan “khitah” DPLK sebagai pengelola aset (termasuk investasi) bagi pesertanya untuk masa pensiun (bukan sekadar menjadi administrator) sehingga dibutuhkan kompetensi pengelolaan aset dan investasi yang memadai, 2) menjadi mandat dalam menerapkan prinsip tata kelola Dana Pensiun yang baik, dan 3) menjadi bagian penerapan manajemen risiko yang efektif dalam setiap kegiatan usahanya pada seluruh tingkatan atau jenjang organisasi. Hingga ujungnya, benar-benar tercapai Pasal 143 ayat (2) UU PPSK yang menyebut “Dana Pensiun wajib dikelola dengan mengutamakan kepentingan Peserta serta Pihak yang Berhak atas Manfaat Pensiun sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Dana Pensiun”. 

Pada praktiknya, iuran yang disetor peserta (pekerja dan pemberi kerja) DPLK diamanatkan ke arahan investasi sesuai pilihan peserta sendiri. Oleh karena itu, DPLK wajib menempatkan dan mengelola iuran ke dalam instrumen investasi yang sehat. Agar dapat memberikan imbal hasil yang kompetitif.  Karena itu, DPLK harus menyiapkan “investment specialist” yang kompeten untuk urusan investasi dan pengelolaan aset DPLK-nya. Selain mampu menempatkan dan memilih investasi yang benar, DPLK pun harus mampu menjaga nilai aset dana pensiun peserta untuk jangka panjang. Agar dapat dinikmati peserta DPLK di masa pensiun sesuai dengan yang seharusnya diterima.

Larangan DPLK mengalihkan pengelolaan aset ke pihak ketiga atau manajer investasi tentu menjadi tantangan tersendiri. Namun harus dipahami sebagai cara untuk meningkatkan kompetensi penyelenggara DPLK di bidang pengelolaan aset dan investasi, di samping untuk menjaga keamanan manfaat pensiun peserta pada saat diperlukan nantinya. Apalagi Pasal 167 UU PPSK mengatur bahwa aset Dana Pensiun dihimpun dari: a) iuran pemberi kerja, b) iuran peserta, c) hasil pengelolaan aset, d) pengalihan aset dari Dana Pensiun lain, dan/atau e) pengalihan dana awal pemberi kerja. Karena itu, kompetensi pengelolaan aset di DPLK menjadi sebuah keniscayaan. 

Terkait dengan larangan DPLK mengalihkan pengelolaan aset ke pihak ketiga, ada baiknya dibaca dengan seksama Frequently Asked Question (FAQ) ketentuan terkait Dana Pensiun pasca berlakunga UU No. 4/2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (PPSK). Salam #YukSiapkanPensiun #EdukasiDPLK #EdukasiDanaPensiun

Cukup tegas disebutkan Pasal 144 ayat (3) UU No. 4/2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (PPSK) bahwa “Pengurus dilarang merangkap jabatan sebagai Pengurus Dana Pensiun lain, Direksi, atau jabatan eksekutif pada badan usaha lain.” Bila badan hukum yang dimaksud adalah pendiri Dana Pensiun Pemberi Kerja dan/atau Dana Pensiun Lembaga Keuangan (Pasal 134 angka 17 UU PPSK), maka pengurus di dana pensiun bukanlah direksi atau pemegang jabatan eksekutif di pendirinya. 

Ketentuan ini semakin tegas disiratkan pada Pasal 320 UU PPSK dalam bab Ketentuan Peralihan Terkait Dana Pensiun, Program Jaminan Hari Tua, dan Program Pensiun ayat 3) yang menjelaskan “Pelaksana Tugas Pengurus pada Dana Pensiun Lembaga Keuangan menjadi Pengurus Dana Pensiun Lembaga Keuangan dan dewan komisaris dari Pendiri Dana Pensiun Lembaga Keuangan bertindak sebagai Dewan Pengawas Dana Pensiun Lembaga Keuangan sampai dengan jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan”. Artinya, penggunaan istilah Pengurus dan Dewan Pengawas DPLK mulai diberlakukan pada 12 Januari 2025, sekitar 1,5 tahun lagi dari sekarang. 

Pertanyaannya, apakah pelaksana tugas pengurus DPLK dan dewan komisaris pada pendiri DPLK secara otomatis berubah menjadi pengurus dan dewan pengawas DPLK? Tentu saja, pelaksana tugas pengurus dan dewan komisaris pada pendiri DPLK saat ini bisa saja secara otomatis berubah menjadi pengurus dan dewan pengawas melalui mekanisme internal di DPLK masing-masing. Bila tidak, maka pendiri dapat menunjuk pengurus dan dewan pengawas baru sesuai mekanisme yang berlaku, sekaligus mengalihkan fungsi, tugas, dan wewenang pelaksana tugas pengurus dan dewan pengawas kepada pengurus dan dewan pengawas yang baru. (Frequently Asked Question (FAQ) ketentuan terkait Dana Pensiun pasca berlakunya UU No. 4/2023 by OJK).

Masa dua (tahun), hingga 12 Januari 2025, untuk menyesuaikan nomenklatur “pelaksana tugas pengurus” menjadi “pengurus” dan “dewan komisaris” di pendiri menjadi “dewan pengawas” DPLK bisa dibilang singkat bisa lama. Namun yang lebih penting adalah mekanisme internal di DPLK harus mulai disiapkan. Apa dan bagaimana menjadi pengurus dan dewan pengawas di DPLK? Karena waktu terus berjalan, dan tidak terasa, sekarang sudah tinggal 1,5 tahun lagi. Jadi, ada baiknya mulai disiapkan skema terbaik sesuai dengan DPLK masing-masing. 

Bisa jadi, pengubahan “pelaksana tugas pengurus” menjadi “pengurus” dan “dewan komisaris” menjadi “dewan pengawas punya tujuan yang positif. Agar DPLK bisa lebih maju dan tumbuh secara signifikan, baik dari aset yang dikelola maupun jumlah peserta. Sekaligus untuk memastikan tata kelola DPLK yang baik dan penerapan manajemen risiko yang efektif. Utamanya untuk memberikan manfaat DPLK yang optimal kepada peserta, di samping melindungi kepentingan peserta secara lebih signifikan. 

Dan siapapun yang akan menjadi “pengurus” dan “dewan pengawas” di DPLK, tentu harus memiliki kompetensi dan standar keahlian yang memadai di Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK). Seperti amanat Pasal 190 UU No. 4/2023 tentang PPSK ayat (1) yang menyebut “Pengelola Program Pensiun merupakan profesional yang wajib memiliki kompetensi dan pengalaman yang memadai”. Agar program pensiun dapat dipilih masyarakat Indonesia yang lebih banyak lagi. Karena saat ini, harus diakui, masih sedikit pekerja atau masyarakat Indonesia yang memiliki program pensiun, termasuk DPLK. 

 Begitulah kira-kira soal pengurus dan dewan pengawas di DPLK sesuai UU No. 4/2023 tentang PPSK. Salam #YukSiapkanPensiun #EdukasiDPLK #LiterasiDanaPensiun

Bila disimak dengan seksama, UU No. 4/2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan pada Pasal 138 ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) mengatur bahwa dalam hal tertentu Dana Pensiun masih diperbolehkan memberikan manfaat lain sebagai tambahan dari program pensiun, namun Dana Pensiun tidak dapat memberikan manfaat lain tanpa menyelenggarakan program pensiun. 

Adapun yang dimaksud manfaat lain seperti: dana kompensasi pascakerja, dana pendidikan anak, perumahan, ibadah keagamaan, santunan kesehatan, santunan kematian, dan dana manfaat tambahan sesuai POJK 60/2020 tentang Iuran, Manfaat Pensiun, dan Manfaat Lain yang Diselenggarakan Dana Pensiun.

Selain  itu, dalam hal Dana Pensiun menyelenggarakan manfaat lain berlaku ketentuan bahwa a) aset dan kewajiban program pensiun wajib dicatat secara terpisah dengan aset dan kewajiban manfaat lain, b) porsi iuran program pensiun wajib lebih besar dibanding iuran untuk manfaat lain, serta c) penyelenggaraan manfaat lain menggunakan sistem pendanaan. Menurut FAQ yang ada, ketentuan lebih lanjut mengenai manfaat lain mengikuti ketentuan di dalam POJK.

Sejalan dengan spirit pengaturan industri Dana Pensiun sesuai UU No. 4/2023, manfaat lain pada dana pensiun harus dilihat sebagai ikhtiar untuk meningkatkan pelindungan hari tua bagi masyarakat, khususnya para pekerja, di samping untuk mempercepat akumulasi sumber dana jangka panjang sekaligus memperkuat peran dana pensiun kepada pesertanya. Pada saat yang sama, edukasi dan literasi dana pensiun pun harus tetap dilakukan secara masif dan berkelanjutan. Agar peserta memahami, apa dan bagaimana manfaat lain dijalankan.

Nah dalam konteks manfaat lain di dana pensiun, maka ada beberapa poin penting yang menjadi acuan, diantaranya:

  1. Aset dan kewajiban program pensiun wajib dicatat secara terpisah dengan aset dan kewajiban manfaat lain. Maka prinsip keterpisahan administrasi dan pencatatan manfaat lain menjadi hal yang harus dilakukan.
  2. Porsi iuran program pensiun wajib lebih besar dibanding iuran untuk manfaat lain. Program pensiun wajib semestinya dimaknakan “program pensiun” yang berarti mencakup Jaminan Hari Tua (JHT) dan Jaminan Pensiun (JP). Maka implikasinya, porsi iuran manfaat lain harus lebih kecil daripada program pensiun wajib, di samping memastikan bahwa peserta manfaat lain sudah “mempunyai” program pensiun wajib, baik JHT maupun JP. Dengan begitu, manfaat lain di dana pensiun tidak bisa “stand alone”tanpa menjadi peserta program pensiun wajib. 
  3. Penyelenggaraan manfaat lain menggunakan sistem pendanaan. Hal ini berarti, penyelenggaraan manfaat lain dilakukan dengan sistem pemupukan dana sehingga cukup untuk memenuhi kebutuhan pembayaran manfaat lain dimaksud, tidak bisa bersifat “numpang lewat”.
  4. Dalam realisasinya, penyelenggaraan manfaat lain harus tetap mengacu pada POJK No. 60/POJK.05/2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 5/POJK.05/2017 tentang Iuran, Manfaat Pensiun, dan Manfaat Lain yang Diselenggarakan oleh Dana Pensiun. Regulasi yang sangat penting untuk dipahami dan dibaca kembali.

Hal yang tidak kalah penting, dana pensiun pun punya kewajiban untuk menyampaikan informasi kepada peserta terkait hal-hal yang timbul akibat kepesertaannya. Hal ini ditegaskan pada Pasal 182 ayat 2) UU PPSK yang mengatur bahwa Dana Pensiun wajib menyampaikan keterangan kepada peserta mengenai hal yang timbul terkait kepesertaannya minimal informasi mengenai jumlah dana yang telah terkumpul dan/atau proyeksi besaran manfaat yang akan diterima.

Sedikit catatan tentang manfaat lain. Semoga dapat menjadi pemahaman bersama tentang manfaat lain di dana pensiun pasca UU No. 4/2023 PPSK. Salam #YukSiapkanPensiun #EdukasiDPLK #LiterasiDanaPensiun

Pengumuman Hasil Ujian Sertifikasi DPLK - Juli 2023 (Batch 21)

 

Berikut ini disampaikan Hasil Ujian Sertifikasi DPLK periode ujian Juli 2023 (Batch 21) yang telah dilaksanakan secara offline di Jakarta pada 28 Juli 2023 di Jakarta, dengan rincian sebagai berikut:

Jumlah Peserta : 17 Peserta
Peserta LULUS : 17 Peserta
Peserta TIDAK LULUS : - Peserta
Persentase Kelulusan : 100%

SELAMAT kepada peserta yang telah lulus.

Hasil Ujian Sertifikasi DPLK - Juli  2023 (Batch 21)

No Keterangan
753 LULUS
754 LULUS
755 LULUS
756 LULUS
757 LULUS
758 LULUS
759 LULUS
760 LULUS
761 LULUS
762 LULUS
763 LULUS
764 LULUS
765 LULUS
766 LULUS
767 LULUS
768 LULUS
769 LULUS

Adapun peserta “3 besar” dengan nilai tertinggi secara berurutan adalah sebagai berikut:

Christabella Adlyn DPLK Simas Jiwa 84
Jasmine Sephira Y P DPLK AXA Mandiri Financial Services 82
Mardiana Wirasmi M. PT Syailendra Capital 81

Pengesahan kelulusan Ujian Sertifikasi DPLK dilakukan oleh Komite Sertifikasi yang ditetapkan dalam rapat komite pada Rabu, 2 Agustus 2023. Bagi peserta yang dinyatakan LULUS akan dihubungi oleh Sekretariat Asosiasi DPLK untuk koordinasi pengambilan Sertifikat DPLK. Demikian disampaikan dan terima kasih. Salam #YukSiapkanPensiun

Jakarta, 2 Agustus 2023

Komite Sertifikasi DPLK

 

Page 4 of 11
Hubungi Kami
Wisma Bumiputera, 2nd Floor, Suite 205 Jl. Jend. Sudirman Kav. 75
DKI Jakarta 12910
Indonesia
Phone: 021 - 5713007
Email: This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.

Tentang Kami

  • Sejarah Singkat
    Perkumpulan Dana Pensiun Lembaga Keuangan Indonesia (P-DPLK) atau dikenal dengan Asosiasi DPLK pertama kali berdiri pada tahun 1997 sebagai organisasi…
    Read more